BAB. I
Pendahuluan
A.
LATAR BELAKANG
Drama sudah ada sejak zaman dahulu. Diperkirakan drama sudah
dimainkan sejak ribuan tahu yang lalu hal ini di didasarkan oleh sebuah
penemuan naskah drama kuno di yunani yang ditulis oleh Aeschylus yang mana
membuktikan bahwa drama sudah ada sejak abad ke 5 SM. Lakon drama biasanya
mengandung pesan atau ajaran moral bagi penontonnya. Menurut sejarahnya, drama lahir didalam
maupun diluar negeri bermula dari peristiwa yang sama.
Lakon drama dibuat untuk memberikan hiburan bagi para penonton nya
tapi juga berisi pesan moral yang bisa dipetik didalamnya. Dalam penulisan
lakon drama ini berbeda dengan pembuatan cerita lainnya. Dalam pembuatan lakon
drama dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang harus dgunakan untuk menunjang
keberhasilan dalam drama. Tidak hanya
pada naskah, setiap unsur yang berhubungan dengan drama juga harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada
didalam drama mulai dari pemain, dialog yang dimainkan ataupun yang lainnya.
Jadi didalam sebuah lakon drama itu memiliki banyak bagian-bagianya dan istilah-istilah
yang digunakan dalam drama. Didalam makalah ini penulis akan memaparkan
mengenai drama itu sendiri, bagaimana sejarah dari drama sejak zaman dahulu
hingga ke zaman sekarang serta istilah-istilah dan unsur-unsur yang terdapat
didalam drama juga akan diperkenalkan didalam makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
saja definisi dari drama ?
2.
Apa
itu seni dalam drama ?
3.
Bagaimana
sejarah dari drama ?
4.
Beberapa
istilah dalam drama ?
5.
Apa
saja unsur-unsur yang ada didalam drama ?
C.
TUJUAN
Makalah ini ditulis untuk memahami apa itu drama , bagaimana
perkembangan drama dari zaman dahulu hingga sekarang serta unsur-unsur dan
istilah-istilah yang terdapat di dalam drama.
BAB.
II
Pembahasan
A.
The
Nature of Drama
Berdasarkan etimologi,kata drama
berasal dari bahasa Yunani drama yang berarti bergerak. Tontonan drama
menimbulkan percakapan dialog dan gerak-gerik para pemain di panggung. Penonton
dapat langsung melihat, menikmati, dan mengikuti tanpa harus membayangkan.
Berbeda halnya dengan novel dan cerpen, sang pembaca harus berusaha untuk
membayangkan alur cerita saat membaca novel dan cerpen. Namun alam drama hal
itu tidak mesti di lakukan karena sudah di peragakan secara langsung di
panggung.
Drama sering di sebut sandiwara atau
teater. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi yang berarti rahasia dan
warah yang berarti ajaran. Sandiwara bebrarti ajaran yang di sampaikan secara
rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Karena lakon drama sebenarnya mengandung
pesan atau ajaran bagi penontonnya. Penonton akan menemukan makna tersirat
dalam lakon drama. Misalnya, orang yang menebarkan kejahatan akan memperoleh
kehancuran. Begitu pun sebaliknya, orang yang menebarkan kebaikan akan memperoleh
kebaikan pula.
Sedangkan kata teater diambil dari
bahasa inggris theather yang berarti gedung pertunjukan atau dunia sandiwara.
Kata theter bahasa inggris itu berasal dari bahasa Yunani theatron yang artinya
takjub melihat. Kebanyakan dari para penonton merasa takjub dan puas
menyaksikan tontonan drama yang ada di panggung. Tetapi, teater mempunyai dua
makna. Pertama teater yang berarti gedung pertunjukan, yaitu temat dimana di
selenggarakannya suatu pertunjukan. Di tempat ini penonton berkumpul
bersama-sama menyaksikan dan menikmati pentas yang ada di panggung. Yang kedua
adalah, yang berarti bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak.
Bentuk tontonan ini biasanya mempunyai nama untuk menandai grup satu dan grup
lainnya. Misalnya, teater koma, teater kerikil, dan teater ada.
Teater sebagai tontonan ada dua
bentuk yaitu, teater tradisional dan teater modern. Jika teater tradisional
tidak menggunakan naskah. Sutrada hanya hanya menugasi pemain untuk memerankan
tokoh tertent dari lakon yang di pentaskan. Pengarahan hanya seperlunya saja.
Pemain tidak menghafalkan naskah baik dalam berbicara maupun bergerak, hal ini
dilakukan secara spontanitas pemain saja. Maka dari itu, resiko gagal tentu saja amat besar, apa lagi bagi pemain
pemula dan amatir.
Sebaliknya, teater modern
menggunakan naskah. Naskah ini di pegang teguh, diptuhi, dan dilaksanakn
seluruhnya. Penataan panggung, music, lampu, dan lain-lain semuanya mengikuti
naskah. Percakapan dan gerak-gerik pemain pun harus sama dengan naskah. Karena
itu para pemain menghafalkan naskahsecara berulang-ulang supaya percakapan dan
gerak-gerik sesuai dengan apa yang ada di naskah tersebut. Jadi, pertunjukan
yang di tampilkan di panggung benar-benar perwujudan dari naskah yang ada.
Jadi drama dapat kita lihat dalam
arti sempit dan luas. Drama dalam arti luas adalah smua bentuk tontonan yang
mengandung cerita yang di pertunjukan di depan orang banyak. Sedangkan dalam
arti sempit adalah kisah hidup masyarakat yang digambarkan di atas panggung, di
sajikan dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah, didukung oleh tata
panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana. Dengan kata lain,
drama dalam arti luas mencakup teater tradisional dan teater drama sedangkan
drama dalam arti sempit mengacu pada teater modern saja.
B. SENI DRAMA
Para ahli menyampaikan rumusan
yangberbeda-beda mengenai definisi seni drama. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan sudut pandang, pendapat, atau aliran yang berbeda-beda pula. Namun,
dari keaneka ragaman rumusan itu, masih mempunyai intisari yang sama, yaitu
kesenian yang selalu dihubungkan dengan keindahan. Keindahan menimbulkan rasa
senang bagi orang yang melihat dan mendengarnya. Para seniman secar kreatif berusaha
mewujudkan kesenian itu. Cara mwujudkannya bermacam-macam, tergantung bahan
dasarnya.
Seni drama sendiri diwujudkan dari
berbagai bahan dasar karena dalam seni drama terkandung seni-seni lainnya. Seni
drama sebagai tontonan merupakan perpaduan sejumlah cabang seni yaitu, seni
sastra naskah (naskah cerita), seni lukis (tat arias dan tata panggung), seni
music (music pengiring), seni tari (gerak-gerik pemain), dan seni peran
(pemeranan tokoh).
Karena banyaknya cabang seni yang
terlibat , maka tak mungkin suatu pementasan drama hasil karya seorang seniman.
Gedung pementasan drama adalah tempat bertemunya para seniman, seperti
sastrawan, actor, komponis, dan pelukis. Para seniman itu bekerja sama sesuai
bidangnya masing-masing mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahanya
oleh penonton.
Sejauh
ini kami telah mengidentifikasi fitur yang berbeda milik fiksi dan puisi, dua
genre yang mengandalkan kata-kata
tertulis atau lisan sebagai
sarana utama mereka berekspresi.
seni dramatis atau perfoming, howefer, menggabungkan
lisan dengan sejumlah sarana visual lisan atau
optik non, termasuk panggung, pemandangan, pergeseran
adegan, ekspresi wajah, gerak tubuh, make-up, alat
peraga, dan pencahayaan. Penekanan
ini alsi tercermin
dalam kata "drama itu sendiri", yang berasal dari bahasa Yunani "draien" (lakukan, untuk bertindak) sehingga reffering mengacu pada kinerja
atau representasi oleh pelaku
C.
Sejarah drama
Drama sebagai tontonan
sudah ada sejak zaman dahulu. Nenek moyang kita sudah memainkan drama sejak
ribuan tahun yang lalu. Bukti tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan
mengungkapkan bahwa drama sudah ada sejak abad ke 5 SM. Hal ini didasarkan
temuan naskah drama kuno di yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup diantara
tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada
dewa-dewa.
Menurut sejarah nya,
lahirnya drama baik di dalam maupun di luar negri bermula dari peristiwa yang
sama. Sebagai “cikal bakalnya” adalah upacara keagamaan yang dilakukan para
pemuka agama. Mereka menyembah dewa dengan mengumandangkan nyanyian
puji-pujian. Lambat laun upacara keagamaan ini berkembang. Bukan hanya berupa
nyanyian nyanyian puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan
dengan lantang.
Di tengah pementasan, biasanya
dimasukkan unsur badut untuk memancing tawa penonton karena jenuh menyaksikan pementasan
yang berjalan lamban. Ketika muncul reformasi sekitar tahun 1600 M,
perkembangan drama abad pertengahan mengalami kemunduran hingga lenyap sama
sekali.
C.1 Old English
( Periode 5th-11th Century)
C.2 Drama
(Periode Inggris Periode pertengahan ± 1150-1400)
Satu
jenis sastra yang mulai tampak di inggris dalam zaman pertengahan ialah drama.
drama mulanya tumbuh di dalam gereja sebagai media yang digunakan para
rokhaniwan dalam khotbah nya, karena pada waktu itu khotbah diberikan dengan
bahasa latin yang susah dipahami. Maka pada kesempatan tertentu para rokhaniwan
mempertunjukkan lakon seperti hari kelahiran kristus, dan kebangkitan kembali.
Bahasa latin yang digunakan dalam pertunjukkan berangsur diganti dengan bahasa
inggris. Cerita juga semakin berkembang dan memerlukan lebih banyak pelaku
sehingga gereja tidak lagi dijadikan tempat pertunjukkan dan dipindahkan ke
tanah lapangan. Kadang-kadang pertunjukkan diselenggarakan oleh serikat
pengusaha (guilds). Drama yang ditunjukkan ada 2 macam, pertama”miracles” dan
yang kedua “mysteries”.
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
1)
Dimainkan oleh aktor-aktor yang
belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah filsafat dan agama.
2)
Aktor bermain di panggung di atas
kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri jalanan.
3)
Dekor panggung bersifat sederhana
dan simbolis.
4)
Lirik-lirik dialog drama menggunakan
dialek atau bahasa.
5)
Dimainkan di tempat umum dengan
memungut bayaran.
6)
Tidak memiliki nama pengarang secara
pasti untuk lakon yang dipentaskannya.
C.3 Drama Periode Elizabrth ± 1550-1620
Dari seluruh hasil
sastra, dramalah yang mengalami kemajuan paling pesat dalam periode Elizabeth
ini. Drama tidak lagi semata-mata digunakan untuk mengajarkan agama atau moral,
tetapi bertujuan memperlihatkan hidup manusia. Pengaruh klasik telah memberikan
penulis drama inggris suatu kesadaran tentang bentuk (“a sense of form”),
walaupun tidak seluruh prinsip-prinsip drama klasik ditaati.
Setiap drama berkisar
sekitar suatu masalah atau konflik. Dalam tragedi temanya muram dan serius, sedangkan dalam komedi
temanya cerah dan gembira. Namun, struktur ke dua-duanya sama. Setiap drama
dimulai dengan suatu “exposisi” guna menjelaskan situasi yang menjadi pangkal
persoalan. Kemudian diikuti oleh “komplikasi” di mana masalah menjadi semakin
rumit, yang memuncak pada suatu “klimaks” atau “krisi” di mana terjadi
penentuan kearah pemburukan situasi (dalam tragedi) atau perbaikan (dalam
komedi). Selanjutkan terjadilah yang disebut dengan istilah perancis
“denouement” yang membentangkan penguraian atau penyelesaian “komplikasi”. lalu
tercapailah “pemecahan” dalam komedi atau “malapetaka” dalam tragedi.
Tahap-tahap dalam drama ini biasanya diatur dalam “babak-babak” (acts) dan
“adegan-adegan” (scenes).
Selain hal diatas
terdapat dua macam drama, yaitu drama klasik dan drama romantik. Ciri utama
drama klasik ialah adanya apa yang disebut “tiga kesatuan” (Three Unities)
serta “chorus” yang dimaksud dengan “tiga kesatuan” ialah “kesatuan waktu”,
“kesatuan tempat”, dan “kesatuan gerak”. Kesatuan waktu berarti bahwa jangka wantu
yang diperlukan bagi berlangsungnya cerita di atas pentas harus sama atau
hampir sama dengan jangka waktu cerita yang sesungguhnya. Jadi drama klasik
tidak mungkin mempertunjukkan cerita hidup seseorang misalnya dari masa
kanak-kanak sampai masa dewasa. Kesatuan tempat berarti bahwa tempat dimana
cerita berlamngsung tidak berubah-ubah. Kesatuan gerak berarti bahwa suatu
drama itu harus hanya tragedi atau hanya komedi dan tidak boleh
dicampur-campur. Juga alur cerita (plot) harus satu saja, tampa alur cerita
tambahan (sub-plot).
Kebanyakkan drama
inggris dapat digolongkan drama romantik, kerena tidak menghiraukan “tiga
kesatuan” dan hanya menaati apa yang menurut penciptanya baik bagi drama itu
sendiri. Namun sperti dinyatakan diatas, pengaruh klasik terasa pula dalam
tumbuhnya kesadaran akan bentuk sehinnga drama inggris benar benar merupakan
satu kesatuan dan bukannya hanya pertunjukkan serangkaian kejadian. Pun
pengaruh ini terlihat pada pembagian dalam 5 babak yang lazim dalam zaman
elizabeth itu.
Komedi inggris pertama
yang mencoba menerapkan prinsip-prinsip klasik ialah “Ralph Roister Doiser”.
Karya ini kemudian disusul oleh tragedi inggris pertama ialah “Gorboduc or
Porrex” ciptaan Thomas Norton dan Thomas Sackville, yang dipertunjukkan untuk
pertama kali dalam tahun 1562. Pengaruh klasik mulai terasa kuat dalam drama
ini, namun “kesatuan waktu” dan “kesatuan tempat” tidak ditaati secara cermat.
Maka sudah mulai tampak kecenderungan para para dramawan inggris untuk
menyimpang dari model-model klasik dan menjurus kearah drama romantik.
John Lyly, yang
terkenal sebagai penulis yang mengembangkan gaya bahasa yang disebut “euphism”,
menulis juga beberapa komedi antara lain, “Endymion”, “the man in the moon” dan
“Alexander and Campaspe”. Cerita ceritanya diambil dari mitologi dan klasik.
John Lyly adalah dramawan inggris pertama yang menulis “high comedy”, yaitu
komedi yang melukiskan kehidupan dan perasaaan halus golongan-golongan
“berbudaya”atau atasan.
Thomas kyd adalah
penulis sejumlah drama, antara lain “The Spanish Tragedy” (± 1585) yang sangat
populer pada waktu itu. Ia adalah dramwan pertama yang menciptakan drama atau
melodrama yang bertemakan “nafsu” passion yang kemudian ditiru oleh Marlowe dan
Shakespeare.
Christoper Marlowe
ialah dramawan inggris terbesar sebelum Shakespeare. Ia terkenal terutama
karena 4 drama ciptaanya yang semuanya merupakan tragedi “Marlowesque” yaitu
tragedi yang berkisar sekitar seorang tokoh sentral yang dikoyak-koyak oleh
nafsu kekuasaan.
Dramawan dan Sastrawan
terbesar dalam sejarah bangsa Inggris yang tegolong pujangga di dunia ialah
William Shakespeare (1564-1616). ia dilahirkan di Stratford-on-Avon dan
mendapatkan pendidikan sampai sekolah menengah.
Jika kita membaca
karya-karya Shakespeare dengan cermat, maka kita kan memperoleh kesan bahwa
karya-karya itu dapat dibagi dalam 4 periode yang mungkin sejajar dengan
pengalaman dan pertumbuhan jiwa penulisnya.
1. Periode permulaan atau periode eksperimen (±
1588-1596)
Periode ini dimulai sejak
Shakespeare sampai di London tahun 1588, karya nya antara lain : “Love’s
Labour’s Lost”, “Two Gentelman of Verona”, “Comedy of Errors”, “Romeo and
Juliet”, “Ricard III”, “King John”.
2. Periode
pertumbuhan cepat (1596-1602)
Dalam periode ini adapu beberapa
karya yang dihasilkan antra lain : “Midsummer Night’s Dream”, “The Merchant of
Venice”, “Henry IV”, “The Merry Wives of Windsor”.
3. Periode
kemuraman dan depresi (1602-1613)
Dalam periode ini, ditulis
tragedi-tragedi besar seperti “Hamlet”, “Othelo”, “Matcbeth”, “King Lear”,
“Julius Caesar”.
4. Periode
ketenangan (1608-1613)
Periode ini mengakhiri masa
produktif Shakespeare. Hasil karyanya antara lain “ Winters Tale dan Tempest”.
Shakespeare
memperoleh bahan bagi karya-karyanya dari sejarah, dongeng, legenda, serta
cerita-cerita lain yang sudah ada. Dilihat dari segi jenis drama, maka
karya-karya Shakespearedapat dibagi atas “tragedi”, “komedi”, “drama sejarah”.
C.4 Periode Puritan ( 1620-1660)
“Puritanisme”
melingkupi ajaran-ajaran serta tindakan-tindakan yang dijiwai oleh keinginan
untuk menjaga kesederhanaan dalam kebaktian keagamaan dan untuk hidup sesuai
dengan nilai-nilai moral keagamaan yag ketat. Puritanisme ini timbul di inggris
setelah reformasi protestan dari berdirinya gereja dalam abad ke-16 dan menjadi
semakin kuat dalam abad ke-17.
Gerakan
puritan pada permulaan memang terutama merupakan gerakan keagamaan. Tetapi
karena tekanan-tekanan dan tindakan-tindakan kurang bijaksana yang dilakukan
terhadap kaum puritan oleh james I dan charles I, yang memang sudah tidak
disukai oleh kebanyakan hamba-hambanya karena depostisme mereka, maka gerakan
puritan menjadi gerakan politik yang hebat yang beroposisi terhadap raja.
Situasi konflik ini memuncak pada perang saudara di mana kaum puritan berhasil
menumbangkan monarki yang despotis itu, menghukum mati charles I, dan
mendirikan pemerintahan “commonwealth” atau republik di bawah pimpinan Oliver
Cromwell. Tetapi republik ini tidak berlangsung lama dan berakhir dengan
pemulihan atau restorasi monark, dalam
hal in charles II, Pada tahun 1660 .
tahun ini juga dianggap waktu berakhir periode puritan.
Selama
periode puritan ini prose memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan
masyarakat inggris. Kegairahan yang meluap-luap serta harapan-harapan yang
tinggi yang terdapat di dalam zaman Elizabeth telah lampau. Tokoh-tokoh yang
berkepala dingin seperti Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (
1588-1679) dalam karangan-karangan mereka mencoba menginsafkan para pembaca
mereka bahwa masalah-masalah besar yang dihadapi masyarakat pada waktu itu
harus dianalisis secara cermat dan rasional.
Pertentangan
keagamaan antara kaum Anglikan dan kaum Puritan juga mengakibatkan bertambah
besar jumlah karya prosa. Usaha Jamems I untuk mendamaikan dua pihak yang
bersangketa itu mengalami kegagalan tetapi usaha ini telah menghasilkan suatu
karya penting. Ialah terjemahan baru Kitab Injil yang terkenal dengan sebutan “
Authorized Version” atau King James Bible”(1611). Pengaruh gaya bahasa
terjemahan ini terlihat dalam karya-karya para ahli theologi pada masa itu,
sperti Jeremy Taylor (1613-1667). Dan tidaklah berlebih-lebihan jika dikatakan
bahwa kitab Injil ini bersama-sama dengan tulisan-tulisan Shakespeare merupakan karya-karya yang paling
lus pengaruhnya terhadap pemakai-pemakai bahasa inggris.
Restoration
C.5 Restoration ( 1660-1700)
Setelah masa
masa perang saudara sampai tahun 1642, dan teater-teater ditutup sampai
monarkhi kembali berkuasa pada tahun 1660. Selama periode Restorasi, yang mulai
tahun 1660, banyak drama Renaissance muncul kembali dan banyak diminati, meski
tampil dengan gaya yang baru. Pengaruh Pierre Corneille, penulis drama yang
penting di Perancis pada tahun 1650-an membawa ke orientasi klasik tragedi yang
puitis, yang disebut heroic tragedy. John Dryden, dramawan pertama masa Restorasi,
menulis tragedi heroik yang berjudul The Conquest of Granada(1670), yang
menyuguhkan nilai-nilai heroik seperti cinta yang ideal, kesetiaan dalam
perang, dan ditampilkan dalam bait-bait yang bersajak.<br> <br>
Drama paling terkenal pada masa tersebut adalah serangkaian komedi yang brilian
yang mempopulerkan pola komedi khas Inggris masa itu yaitu komedi tingkat
tinggi ataucomedy of manners yang didasarkan pada percakapan
yang witty dari tokoh-tokoh aristokrat. Master pertama gaya baru ini
adalah George Etherege, dengan dramanya The Man of Mode (1676), dan
William Wycherley, dengan The Country Wife (1675). Restorasi juga
menjadi saksi pemunculan dramawati profesional pertama dai Inggris yang
dipimpin oleh Aphra Behn. Komedi-komedinya yang populer juga menggunakan
eleem-elemen dan ciri-ciri comedies of manners namun lebih
menggantungkan efeknya pada plot-plot yang kompleks. Komedi-komedi jaman
Restorasi mencapai ekspresinya yang paling sempurna dalam drama The Way of
the World (1700) karya William Congreve, yang didominasi oleh pasangan
yang brilian dan witty.
C.6
Periode Augustus 1700-1750 ,
Periode
augustus merupakan periode gersang dalam bidang drama. Dua penulis drama yang
akan kita sebut disini ialah John Gay (1685-1732) dengan karyanya yang utama
“The Beggar’s Opera” (1728), yaitu sebuah drama satire terhadap opera Italia;
dan George Lilo (1693- 1739 ) yang dalam karyanya “The London Merchant or The
History of George Bamwell” (1731) memulai suatu jenis drama baru, ialah “drama
sosial” yang realistis.
C.7
Periode transisi ke romantisme
Drama
inggris dalam periode transisi ini diperkaya dengan sejumlah komedi yang cukup
berhasil yang diciptakan oleh Gold Smith dan Brinsley Sheridan (1751- 1816).
Goldsmith menulis dua komedi, ialah “The Good Natured Man” (1768) dan “She
Stoops to Conquer” u(1773). Yang kedua adalah “komedi intrik” dan lebih
berhasil daripada yang pertama. Hingga sekarang komedi ini masih populer,
terutama di antara kelompok-kelompok drama amatir, karena adegan-adegannya yang
kocak dan tokoh-tokoh ceritanya yang lucu dan jelas perwatakannya sehingga
tidak begitu sukar dimainkan. Sheridan menciptakan komedi-komedi “The Rivals”
(1775), “ The School for Scandal” (1777), dan “The critic” (1779). Komedi ini
penuh dengan dialog-dialog cemerlang seperti yang kita temukan dalam
drama-drama periode Restorasi, namun tanpa nada kecabulan. Tokoh-tokoh
ceritanya jelas perwatakannya seperti dalam karya-karya Ben Jonson, hanya
suasananya lebih cerah. Tetapi drama-drama Sheridan ini terasa dangkal, dan
dalam hal ini ia lebih mirip Oscar Wilde, yaitu dramawan abad ke-19, daripada
Ben Jonson.
C.8 Periode Romantisme (±1800 -
±1850)
Kalau puisi mengalami perkembangan yang
mengagumkan, dan demikian pula prosa sampai pada tingkat tertentu, tidak
demikian halnya dengan drama. Dalam periode romantisme ini tidak ada karya
drama ciptaan baru yang benar-benar berhasil. Sebagian penyair-penyair romantik
mencoba menulis drama, tetapi sebagai drama karya-karya itu tidak mencapai sukses.
Salah satu sebab kemunduran drama ini mungkin ialah bahwa golongan menengah
yang waktu itu menanjak dominasinya dalam masyarakat Inggris, tidak begitu
menghargai drama sebagai seni, lebih-lebih profesi sebagai pemain drama tidak
mendapat penghargaan sama sekali. Bagi golongan menengah zaman itu rumah adalah
pusat segala aspek kehidupan sosial, sehingga jenis karya sastra yang mendapat
perhatian yang semakin besar ialah novel, yaitu karya yang dapat dinikmati
drumah. Secara implisit telah kita jumpai dalam karya-karya sastrawan yang
mempunyai kecenderungan-kecenderungan romantik seperti Gray, cowper, bums.
C.9
Periode Victoria(±1850 - ±1900)
Periode
ini dinamakan “periode Victoria” karena
segaian besar periode itu bersamaan waktu dengn bertahtanya Ratu Victoria
(1837-1901). Masa itu adalah masa damai, dan selama itu berlangsunglah
perubahan-perubahan sosial yang penting serta perkembangan ekonomi dan
teknologi yang pesat.
Setelah sekian lama tidak
menunjukkan kemajuan yang berarti, maka pada akhir abad ke-19 di Inggris mulai
tampak kembali kehidupan dan kegairahan dalam penulisan drama. Di antara para
dramawan yang hidup pada masa itu, George Bernand Shaw (1850 – 1950) adalah
yang paling ternama. Pun kariernya sebagai dramawan adalah yang terpanjang dalam
sejarah drama Inggris. Ia berasal dari Irlandia, tetapi sejak usia muda sudah
menetap di London. Ia mulai memasuki dunia drama sebagai seorang kritikus,pada
waktu mana ia lebih memahami dan mengagumi karya-karya Henrik Ibsen seorang
dramawan Norwegia yang termahsyur. Kemudia ia menjadi penulis drama dan seperti
Ibsen menggunakan seni untuk mengutarakan gagasan-gagasan sosial. Shaw adalah
anggota “Fabian Society”, suatu perkumpulan yang bertujuan mewujudkan
sosialisme dengan cara-cara demokratis. Sebagai penganut paham itu, pastilah ia
melihat banyak kepincangan serius dalam masyarakatnya. Namun drama-dramanya
yang merupakan wahana bagi gagasannya itu tidak pernah bersuasana muram, tetapi
selalu bernada kelakar, penuh permainan bahasa
yang pandai dan jenaka, yang mengingatkan kita pada gaya Congreve dan
Oscar Wilde, tetapi ada satu keistimewaan dalam kejenakaan Shaw jika
dibandingkan dengan dua penulis komedi yang cemerlang itu, ialah apa yang kita
sebut “paradox provokati” yang ia gunakan untuk menggoda dan mrnggugah pikiran
serta perasaan para pembaca atau penontonnya, terutama mereka yang berpuas
diri. Paradox adalah suatu pendapat atau gagasan yang berlawanan dengan yang
lazim, ataupun suatu pendapat yang mula-mula tampaknya aneh tetapi yang
ternyuata mengandung kebenaran. Misalnya dalam “John Bull’s Other Island”
(1904), ia membalikkan konsepsi yang lazim mengenai orang inggris dan orang
Irlandia, dan melukiskan yang pertama sebagai seorang sentimentalis, sedangkan
yang kedua sebagai orang praktis.
Drama-drama
Shaw meliputi segala macam pengalaman manusia, seperti seks, etika, agama,
politik, dan sebagainya. Misalny “arms and the man”(1894), adalah suatu satire
mengenai kehebatan militer, “theman of destiny” (1897), suatu “mock-heroic”
atau ejekan terhadap napoleon “you never can tell” suatu lelucon mengenai
wanita baru, “man and superman” (1905), yaitu menggambarkan wanita sebagai
perwujudan kehendak alam demi kelangsungan makhluk, “the doctor’s
dillema”(1906), yang menyerang anggapan-anggapan di sekitar praktek kedokteran,
“getting married”, suatu serangan terhadap sikap pura-pura yang menutup-nutupi
hubungan antatr seks sebenaranya, “Androcles and the Lion” (1912), suatu satire
terhadap sahid (martyr) kristen. Ini hanya sebagian saja dari sekian banyak
karya Shaw yang terus produktif hingga meninggalnya pada tahun 1950. Karyana
yang terakhir ialah “Buoyant Billions” (1949). Semua drama Shaw ini merupakan
komedi satiris dan menggunakan cara “paradox provokatif” seperti yang
diterangkan di atas. Semua drama Shaw itu juga merupakan “drama-drama diskusi”
(discussion plays) dimana dibahas sebuah masalah, dan selalu didahului oleh
sebuah kata pengantar yang membahas masalahnya secara lebih luas. Salah satu
drama Shaw yang terbaik, yaitu “pygmalion” (1912), dimana diceritakan bagaimana
seorang anak perempuan kampung “disulap” oleh seorang profesor fonetik menjadi
seorang “putri” , telah dijadikan komedi musik (musical comedy) dalam tahun
50-an dan mencapai sukses luar biasa.
Drama-drama
John Galsworthy, yang sudah kita sebut sebagai penulis novel, juga
mempersoalkan masalah-masalah sosial. Seperti dalam novel-novelnya, dalam
karya-karya inipun ia menyajikan dua individu atau dua kelompok yang berlawanan
sehingga pembaca atau penonton dapat mempertimbangkan tuntutan masing-masing.
Ia berusaha bersikap adil terhadap semua golongan, dan mengenai
golongan-golongan yang kurang beruntung ia berpendapat bahwa merka adalah
korban kepincangan dalam sistem masyarakat. Drama-drama Galsworthy antara lain
ialah “The Silver Box” (1906), “strife” (1909), “ Justice” (1910), dan
“Loyalties” (1922). Selain itu novel-novel “The Forstyle Saga” telah didramakan
di depan radiodan kemudian di layar TV dengan memperoleh sukses besar.
Penggunaan
drama untuk membahas masalah-masalah sosial atau soal-soal aktual lainnya
ditentang oleh James Matthew Barrie (1860-1937). Drama-dramanya bergerak di
alam fantasi dan bersifat sentimentil. Karya-karya Barrie antara lain “Peter
Pan” (1904), yang merupakan dramatisasi impian anak-anak, “The Admirable
Crichton” (1902), sebuah cerita suatu keluarga golongan atas yang terdampar
disebuah pulau dan harus tunduk kepada pembantu rumah tangga mereka yang
ternyata satu-satunya orang yang tidak kehilangan akal, dan “Dear Brutus”
(1917), suatu dramatisasi lamunan seseorang tentang dirinya sendiri seandainya
ia dapat mengulangi hidupnya. Dari contoh-contoh diatas, tampak ciri khas
drama-drama Barrie. Perlu selanjutnya diterangkan bahwa rasa simpatinya selalu
tertuju kepada anak-anak dan orang-orang yang dalam kesusahan, namun menanggung
penderitaan itu dengan tabah, diam-diam, dan melamun. Misalnya pada akhir
perang dunia I terbitlah karyanya “A Well Rememberred Voice” (1918), yang
menunjukkan bagaimana seorang ayah berhubungan dengan roh anaknya yang mati
dalam pertempuran. Pada tahun 1929 diterbitkan edisi lengkap drama-drama Barrie
yang terbaik setelah berkali-kali diperiksanya, dan dibubuhi adegan-adegan
tambahan serta catatan-catatan, sehingga terciptalah suatu tipe tulisan baru
yang disebut “novel drama”
Juga
bagi dramawan Irlandia John Millingon Synge (1871-1909) drama bukan tempat
untuk membahas gagasan-gagasan ataupun menganjurkan
pemberontakan-pemberontakan. Baginya drama adalah adegan yang diambil dari
kehidupan oleh mereka yang mencari kebenaran. Oleh karenanya dalam
drama-dramanya, baik tragedi maupun komedi, Synge selalu bersikap objektif,
tanpa menonjolkan dirinya ataupun
pendapatnya Suatu drama Synge yang khas misalnya tragedi satu babak
“Riders to the Sea”, yang merupakan satu cukilan kehidupan rakyat nelayan, di
mana seorang ibu tua harus mengakui kekuasaan takdir dan menyaksikan kematian
anak lelakinya yang terakhir yang tertelan ombak. Begitupun “The Playboy of the
Western Word” (1907) merupakan suatu lukisan realistis rakyat pedesaan yang bersahaja
yang mudah percaya pada apa yang mereka dengar dan sering terpedaya oleh
bayangan-bayangan mereka sendiri, sehingga tak jarang menimbulkan situasi lucu.
Drama Synge yang satu ini penuh humor dari permulaan sampai akhir, walaupun
sesungguhnya tidak ada satu tokoh cerita pun yang sengaja melucu. Humornya
timbul dari situasi sendiri. Drama-drama Synge lainnya ialah “The Shadow of the
Glen” (1905), “The Well of the Saints” (1905), dan “Deirdre of the Sorrows”
yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Setelah meninggalnya Synge, tempatnya
sebagai dramawan Irlandia terkemuka diduduki oleh Sean O’Casey (1880-1964).
C.10 Twentieth Century (1900-1940)
Teater telah berubah selama ber
-abad-abad. Gedung-gedung pertunjukan modern memiliki efek-efek khusus dan
teknologi baru. Orang datang ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk
menyaksikan teater melainkan juga untuk menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan
mempelajari hal-hal baru. Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan
panggung arena, atau yang kita sebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung.
Dewasa ini, beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam
pertunjukan-pertunjukan (disamping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi,
tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan
eksperimental ditemukan dalam sebuah gaya teater yang ada di Amerika saat ini.
Seiring dengan perkembangan waktu. Kualitas pertunjukan Realis oleh beberapa
seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini memdorong para
pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari
konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artisitk dibuka selebar-lebarnya untuk
kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan
pesona Realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal
abad 20 inilah istilah teater Eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang
lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata
artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh
seperti gaya; Simbolisme, Surealisme, Epik, dan Absurd. Tetapi tidak jarang
pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha
pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut
diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan kita pada keberagaman
bentuk ekspresi dan makna keindahan.
D.
Istilah-Istilah
Dalam Drama
Didalam sebuah drama terdapat banyak istilah istilah yang memiliki
hubungan yang erat dengan pementasan drama, antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Babak ( Act )
Babak merupakan salah satu bagian yang ada di dalam lakon drama.
Dalam drama bisa saja terdiri dari beberapa babak tidak hanya satu babak.
Didalam pementasan , pemisahan antara babak satu dengan babak dua, babak dua
dengan babak tiga ataupun batas dengan babak
babak yang lainnya, biasanya menggunakan layar yang diturunkan ataupun
lampu yang dimatikan. Setelah itu biasanya terjadi perubahan diatas pangggung
guna menampilkan setting yang berbeda . Seperti setting waktu, tempat ataupun
suasana terjadinya suatu peristiwa.
2.
Adegan
(Scene)
Adegan juga termasuk kedalam istilah yang sering kita dengar berada
di dalam sebuah lakon drama. Adegan merupakan bagian dari babak dan hanya
menggambarkan satu suasana yang
merupakan bagian dari rangkaian suasana-suasana dala babak. Setiap kali
terjadinya pergantian adegan biasanya tidak selalu diikuti dengan pergantian
setting.
3.
Prolog
(prologue)
Prolog merupakan pendahuluan di dalam lakon drama. Prolog berfungsi
untuk menyiapkan dan mengarahkan pikiran parapenonton agar dapat mengikuti alur
cerita yang ada didalam lakon drama yang akan dipentaskan. Prolog sendiri biasanya berisi tentang
sinopsis dari cerita yang akan dipentaskan, tokoh-tokoh yang berperan didalma
drama serta para pemainnya dan juga menggambarkan mengenai garis besar konflik
yang akan terjadi diatas panggung.
4.
Epilog
(Epilogue)
Apilog adalah kata-kata penutup yang mengakhiri pementasan. Isinya merupakan kesimpulan atau pesan-pesan
moral dan nasihat yang bisa di dapat
dari dramayang baru sajadi pentaskann.
5.
Dialog
(Dialogue)
Dialog merupakan percakapan diantara para pemeran. Dalam dialog, pengucapan dan pelafalannya
haruslah jelas dan keras agar dialog yang dimainkan bisa didengar dengan benar oleh para
penonton. Sekalipun seorang pemain dalam adegan berbisik, maka bisikannya itu
diusahakan bisa didengar oleh penonton.
Selain itu dialog antar para pemain juga harus disertai penjiwaan
emosional yang baik. Hal ini bertujuan agar dialog yang dimainkan tidaklah
terasa hambar. Dialog menjadi pengarah bagi sebuah lakon drama artinya penonton
dapat mengikuti alur cerita dengan baik lewat dialok yang dimainkan oleh pemeran.
6.
Monolog
(Monologue)
Monolog merupakan percakapan diri sendiri. Dengan kata lain
merupakan percakapan yang dilakukan pemain dengan dirinya sendiri. Percakapan
dalam monolog ini tidak ditujukan untuk orang lain, isi dari percakan dengan
diri sendiri ini biasanya tentang ungkapan rasa, rencana , sikap terhadapa
suatu kejadian, dan lain-lain.
7.
Mimik
(Mimic)
Mimik
adalah ekspresi dari wajah yang
berfungsi untuk menunjukkan emosi yang dialami oleh para pemeran. Ini bisa
menunjukkan berbagai ekspresi berbeda dari setiap pemainnya, sehingga penonton
dapat merasakan kondisi atau situasi apa yang sedang dihadapi oleh para
pemeran. Contohnya ekspresi wajah pemain
ketika sedih tentu saja berbeda dengan ekspresi wajah pemain jika sedang
bahagia ataupun marah.
8.
Pantomim
(Pantomime)
Jka mimik adalah ekspresi gerak-gerik
diwajah, lain halnya dengan pantomime. Pantomime merupakan ekspresi gerak-gerik
tubuh dari pemain guna menunjukkan emosi
yang dialami oleh pemain.
9.
Pantomimik
(Pantomimic)
Pantomimic adalah perpaduan antara pantomim
dan mimic yang merupakan campuran antara gerak-gerik wjah dan tubuh dari pemain
untuk menunjukkan emosi saat diatas panggung.
10.
Gestur (Gesture)
Gesture merupakan gerakan besar, yaitu
seperti gerak tangan, kaki, kepala, dan tubuh pada umumnya yang dilakukan
pemain.
11.
Bloking (Blocking)
Bloking dilakukan untuk mencegah penampilan
pemain menjadi membosankan. Bloking merupakan aturan berpindah tempat bagi
pemain, yang mana pemain harus berpindah tempat dari tempat satu ke tempat yang
lainnya di atas panggung.
12.
Gait
Gait merupakan salah satu istilah yang ada
did lam lakon drama. Gait berbeda dengan bloking, dimana gait dimaksudkan
sebagai tanda-tanda khusus pada cara berjalan dan cara bergerak pemain.
13.
Akting (Acting)
Acting adalah gerakan-gerakan yang
dilakukan pemain sebagai wujud penghayatan peran yang dimaiinkanny . bila
gerakan-gerakan itu terlalu banyak, dinamakan pver acting (laku lajak).
14.
Aktor (Actor)
Actor merupakan sebutan untuk para pemain dalam sebuah lakon drama. Mereka adalah
orang-orang yang melakukan acting. Pengertian actor bisa menjangkau pemain pria
ataupun pemain wanita, khusus pemain wanita biasanya disebut aktris.
15.
Improvisasi (Improvisation)
Improvisasi adalah gerakan-gerakan ata
ucapan-ucapan penyeimbang untuk lebih
menghidupkan pemeranan.
16.
Ilustrasi
(Illustration)
Ilustrasi adalah iringan bunyi-bunyian untuk memperkuat suasana
yang sedang digambarkan. Sering juga istilah iliustrasi ini diganti musik
pengiring.
17.
Kontemporer
(Contemporary)
Kontemporer merupakan lakon atau naskah serba bebas yang tidak
terikat aturan atau kelaziman.
18.
Kostum
(Costume)
Kostum adalah busana yang digunakan oleh setiap pemain ketika
mementaskan sebuah drama.
19.
Skenario
(Scenario)
Skenario merupakan susunan dari cerita drama yang akan diperankan
atau diperagakan oleh para pemain.
20.
Panggung
(Stage)
Panggung adalah tempat berlangsung nya drama atau tempat dimana
para pemain memainkan drama. Panggung dibuat lebih tinggi dibandingkan tempat
duduk penonton. Hal ini berguna agar semua penonton dapat melihat kejadian
diatas panggung meskipun duduk di kursi
penonton yang paling belakang.
21.
Layar
(Screen)
Layar biasanya digunakkan sebagai kain penutup panggung bagian
depan yang bisa dinaikkan atau dibuka dan bisa diturunkan atau di tutup. Namun
tidak semua panggung dilengkapai layar.
22.
Penonton
(Audience)
Penonton merupakan orang-orang yang datang untuk menyaksikan
pementasan drama. Penonton biasanya ada yang menunjukkan keminatan, rasa
penasaran atau pun hanya sekedar iseng.
23.
Sutradara
(Director)
Sutradara bertugas untuk memimpin dan orang yang paling bertanggung
jawab di dalam pementasan drama.
E.
Unsur-Unsur Lakon Drama
Seorang penulis drama harus memiliki banyak pengalaman dan banyak belajar. Karena, ia harus
menyelidiki watak-watak manusia secara mendalam, sebab drama selalu
mempertontonkan kehidupan manusia yang berbagai macam ragam watak dan tingkah
lakunya (Wiyanto, :22-23) . Mario Klarer dalam bukunya An
Introduction To Literary Studies menjelaskan bahwa ada 3 tingkatan yang saling
berkaitan dalam sebuah drama yaitu Text, Transformation dan Performance.
1.
Text
Banyaknya daerah tekstual drama seperti karakter, plot, pengaturan atau setting tumpang
tindih dengan aspek fiksi yang telah dijelaskan, bagian berikut hanya akan
berurusan dengan elemen-elemen khusus yang relevan dengan drama. Dalam dimensi
tekstual drama, kata yang diucapkan berfungsi sebagai dasar untuk dialog
(komunikasi verbal antara dua atau lebih karakter) dan monolog (solilokui). Unsur-unsur
dasar plot, termasuk eksposisi, komplikasi, klimaks, dan kesudahan, telah
dijelaskan dalam konteks fiksi. Mereka memiliki asal dalam deskripsi klasik
dari program ideal bermain dan hanya diadopsi untuk analisis genre lainnya. Tiga
kesatuan waktu, tempat, dan tindakan dan yang terpenting primer. Kesatuan ini
menentukan bahwa rentang waktu tindakan harus sama dengan durasi bermain dan
tempat di mana tindakan terungkap harus selalu tetap sama. Selain itu, tindakan
harus konsisten dan memiliki plot linear. Tiga kesatuan, yang seharusnya untuk
mengkarakterisasi struktur yang "baik" play, berasal dari Aristoteles. Mereka lebih baik
diidentifikasi untuk sebagian besar sebagai adaptasi dari puisi-Nya di abad XVI
dan XVII. Aturan-aturan itu membuat kaku seiap presentasi waktu, pengaturan,
dan plot yang dirancang untuk menghasilkan kemungkinan efek dramatis terbesar.
Drama Shakespeare, selalu memegang posisi yang sangat menonjol dalam sastra
Inggris, jarang sekali sesuai dengan aturan-aturan ini. Inilah sebabnya mengapa
tiga kesatuan tidak pernah dihormati di negara berbahasa Inggris sebanyak
mereka di tempat lain di Eropa.
Secara tidak langsung berhubungan dengan tiga kesatuan adalah
pembagian bermain dalam ACTS dan SCENES. Teater Elizabethan mengadopsi struktur
dari zaman klasik, yang dibagi menjadi lima drama tindakan. Pada abad
kesembilan belas, jumlah tindakan dalam bermain dikurangi menjadi empat, dan
pada abad kedua puluh umumnya tiga. Dengan bantuan dari tindakan dan adegan
perubahan, pengaturan, waktu, dan tindakan bermain dapat diubah, sehingga
memungkinkan kesatuan tradisional tempat, waktu, dan tindakan yang harus
dipertahankan dalam adegan atau tindakan.
Teater absurd, seperti rekan dalam fiksi, sama dengan struktur plot
yang tradisional dan memimpin penonton ke dalam situasi rumit yang sering
tampak tidak masuk akal atau tidak logis. Komplikasi yang sering menyebabkan
klimaks, resolusi, atau akhir yang logis. Dengan cara ini, teater absurd,
seperti banyak novel modern atau film, upaya artistik untuk menggambarkan
perasaan umum. Samuel Beckett, yang bermain Gadot (1952) memberikan kontribusi
terhadap ketenaran teater absurd, yang paling terkenal di dunia berbahasa Inggris.
Membandingkan Beckett Godot dengan plot tradisional, ontaining eksposisi,
komplikasi, klimaks, dan kesudahan, kita menemukan beberapa kesamaan. Judul
bermain Beckett memberikan jauh situasi dua karakter utama, Vladimir dan
Estragon; Godot tidak menerima karakterisasi lebih lanjut dalam perjalanan
bermain. Karakter lain secara singkat mengalihkan perhatian tetapi tidak
benar-benar merubah situasi. Dua karakter utama tidak melewati tahap utama plot
klasik dan tidak mengalami perkembangan apapun pada akhir drama.Beckett sadar
melanggar harapan penonton akrab hanya dengan teater tradisional.
Pada abad kedua puluh, dengan inovasi dari teater eksperimental dan
teater absurd, aspek non-tekstual drama dibawa ke latar depan. Fitur
non-verbal, yang secara tradisional berfungsi menghubungkan perangkat antara
teks dan kinerja, meninggalkan peran pendukung mereka dan mencapai status
artistik sama dengan teks.
2.
Transformasi
Transformasi, merupakan bagian penting dari produksi drama dalam
abad kedua puluh, mengacu pada fase yang menghubungkan antara teks dan kinerja.
Ini terdiri dari semua langkah logistik dan konseptual yang mendahului kinerja
dan biasanya diringkas untuk mengarahkan judul. Transformasi ini tidak secara
langsung dapat diakses oleh penonton. Namun demikian, hal itu mempengaruhi
hampir semua elemen kinerja. Tugas direktur kontemporer termasuk memilih naskah
atau teks, bekerja di luar konsep umum, casting, mengadaptasi panggung, memilih
alat peraga, kostum, make-up, dan aktor melalui latihan. Sutradara bertanggung
jawab atas seluruh koordinasi artistik yang memandu teks ke dalam kinerja.
Profesi sutradara mulai envolve di akhir abad kesembilan belas dan
dengan demikian merupakan fenomena yang relatif baru dalam pengembangan drama.
Batas-batas yang memisahkan aktor, penulis, dan koordinator pertunjukan itu,
hingga abad kesembilan belas, sangat samar-samar. Penulis sendiri akan memimpin
produksi, atau aktor yang lebih berpengalaman akan mengambil tugas mengarahkan.
Tidak sampai paruh kedua abad kesembilan belas perkembangan realisme,
persyaratan produksi tumbuh lebih menuntut dan profesi sutradara menempatkan
dirinya sebagai mediator antara penulis dan aktor. Di antara direksi carly
Rusia konstantin Stanislavsky (1863-1938) yang paling terkenal.
Pada abad kedua puluh dan dua puluh satu, ketenaran artistik
direktur telah berkembang sebagai hasil dari ide-ide inovatif yang timbul dari
teater ekspresionis, teater absurd, dan eksperimental teater.
Sutradara CATASTROPHE Samuel Beckett (1982), sebuah drama pendek
dengan jumlah yang relatif besar, diri refleksif subjek adalah produksi drama.
Drama sangat bergaya berkisah sutradara, aktor, dan pembantu, yang semuanya
Bergerak dalam produksi pertunjukan. Dalam hal ini, CATASTROPHE adalah
pekerjaan yang sangat post modernis; beberapa tingkat bermain, termasuk
transformasi dari teks ke kinerja, sudah merupakan bagian integral dari teks
Backett, dengan demikian meletakkan prinsip-prinsip drama.
Setiap langkah dalam transformasi dari text pilihan bermain,
pemotongan script, aksentuasi bermain, casting, persyaratan alat peraga, desain
panggung, dan memiliki audiens yang spesifik dalam pikiran. Yang penting adalah
ide konseptual direktur. Ini mirip dengan interpretasi skor dengan konduktor,
yang menekankan aspek-aspek tertentu dari "text" untuk menyampaikan
kesan individu. Produksi sukses seperti Ellis Rabb itu (1930-1998) interpretasi
homoerotic (1970) dari shakespeare adalah pedagang Venesia (1596-1598),
membutuhkan latar belakang budaya tertentu penonton. Produksi belum tentu
selaras dengan tren yang jelas untuk sukses, sebagaimana dibuktikan oleh
produksi dari Amerika Robert Wilson (1941), yang meminjam teknik dari
arsitektur dan lukisan. Adapun pendekatan sutradara perlu memutuskan jenis
"alat" ia akan digunakan dalam produksi untuk audiens yang spesifik.
Semua langkah transformasi cara verbal dan nonverbal dari expresion adalah
termasuk dalam gagasan konseptual, yang berjalan seperti tema utama melalui
seluruh produksi.
Salah satu aspek yang mendasari setiap produksi adalah dimensi
ruang. Fiksi tradisional mengungkapkan ruang terutama melalui deskripsi,
sedangkan drama, untuk tujuan ini, menggunakan dialog, monolog, bahasa tubuh,
dan, di atas semua, desain panggung, pemandangan, alat peraga, dan pencahayaan.
Banyak elemen ruang di teater tunduk pada kondisi sejarah, tetapi direktur
bebas beradaptasi fitur yang lebih tua untuk produksi modern. Susunan teater
dalam lingkaran, misalnya adalah konsep lama datang kembali ke teater kuno dan
sekarang sedang digunakan kembali dalam produksi modern untuk menciptakan
interaksi antara penonton dan aktor.
3.
Performance
Tahap
terakhir adalah performance, yang berfokus pada aktor dalam menyampaikan maksud
dari penulis dan sutradara. Sampai pada akhir abad ke 19 transformasi text itu
hampir seluruhnya berada pada tangan aktor. Karena, kualitas acting dalam
sebuah drama itu sangat berbeda dengan performance individu. Metode harus
ditemukan untuk menjamin hasil yang maksimal pelatihan pernafasan, gerak tubuh,
bahasa tubuh, dan mekanisme fisikologi berpengaruh pada suasana hati dan sikaf
tertentu di atas panggung.
Ada 2 pendekatan teoritis dalam acting modern yaitu metode eksternal
atau teknis dan metode internal atau realistis.dalam metode external, aktor
seharusnya bisa meniru suasana hati yang diperlukan dalam bagian nya dengan
mengunakan teknik tertentu, Agar benar merasa sedang berada dalam suasana hati
ini. Hal ini bergantung pada peniruan dan simulasi. Sedangkan metode internal, dibangun atas
identifikasi individu aktor dengan bagianya. Pengalaman pribadi, internalisasi
emosi dan situasi yang diperlukan dalam bagian mendasari dalam metode internal,
hal ini merupakan identifikasi internal peran bukan peniruan seperti menjadi tujuan
utama dan sekolah acting di amerika serikat dibawah direktur Rusia
konstain stanislavsky teknik ini
dikenal sebagai “Metode”. Lebih
menekankan “Menjadi” dari pada “
Menunjukan” metode ini telah menghasilkan sejumlah autor terkenal seperti
Marlon Brando dan Paul Newman
Text, transformasi dan kinerja
(performance) merupakan aspek sentral yang tidak hanya dari produksi theater
tetapi dengan anologi mereka juga berlaku untuk film, mengingat bagaimana
karakter film itu sendiri yang memilikin scenario yang berbeda dari drama.
Namun selain harus memiliki kemampuan tersebut, seorang penulis
drama juga harus mengetahui apa-apa saja
yang menjadi unsur dalam sebuah lakon drama. Menurut Wiyanto dalam bukunya
Terampil Bermain Drama, menyatakan bahwa setidaknya ada 8 unsur dalam lakon drama
yaitu tema, amanat, plot, karakter, dialog, setting , bahasa, dan interpretasi.
1.
Tema
(Theme)
Tema adalah pikiran pokok yang mendasari sebuah lakon drama dan
kemudian dikembangkan sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik. Sebelum menulis sebuah cerita drama biasanya
penulis harus menentukan dulu apa tema yang akan dihadirkan dalam drama tersebut.
2.
Amanat
Amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada
pembaca naskah atau penonton drama. Pesan ini biasanya bersifat tersirat, tidak
disampaikan secara langsung. Biasanya amanat
muncul pada naskah lakon drama yang ditulis oleh penulisnya.. Dengan
adanya amanat, ini menunjukkan bahwa sebenarnya kandungan yang terdapat didalam
sebuah cerita drama itu tidak hanya berguna untuk memberikan hiburan bagi
penonton tetapi mereka juga diajarakan dengan nilai-nilai moral yang terkandung
di dalam drama ini.
3.
Plot
Setiap lakon drama biasanya pasti selalu mengandung konflik. Sebab
roh dalam drama adalah konflik. Konflik
yang terjadi dalam sebuah drama biasanya konflik yang terjadi antara pemain
dengan pemain lainnya, pemain dengan dirinya sendiri atau pun pemain dengn
lingkungan. Konflik yang umum biasanya adalah pertentangan antara kebaikan dan
kejahatan. Sebelum adanya pertentangan
atau konflik biasanya didahulukan dengan penyebab-penyebab yang membuat
terjadinya konflik itu sehingga terbentuklah sebuah rangkaian peristiwa.
Rangkaian peristiwa inilah yang membentuk plot drama ( jalan cerita drama).
Plot dalam drama berkembang secara bertahap, mulai dari konflik
yang sederhana, konflik yang kompleks dan penyelesaian konflik. Dalam
penyelesaian konflik biasanya dibuat dengan bermacam-macam. Secara rinci, Wiyanto menjelaskan bahwa
perkembangan plot drama ada enam tahap,
yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan.
a.
Eksposisi
(Exposition)
Eksposisi
merupakan tahap perkenalan. Perkenalan disini berupa penjelasan untuk
mengantarkan penonton pada situasi awal lakon drama. Pada tahap ini, penonton
mulai dikenalkan dengan garis besar cerita drama meskipun hanya dengan sekilas.
b.
Konflik
(Conflict)
Dalam
tahap ini pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok. Dalam tahap ini
mulai ada insiden (kejadian). Insiden pertama inilah yang memulai plot drama
sebenarnya, karena insiden merupakan konflik yang menjadi dasar sebuah drama.
c.
Komplikasi
(Complication)
Insiden
kemudian berkembang dan menimbulokan konflik-konflik yang semakin banayk dan
ruwet. Banyak persoalan yang
kait-mengait , tetapi semuanya masih menimbulkan tanda tanya.
d.
Krisis
(Crisis)
Dalam
tahap krisis, konflik sudah mencapai puncak nya (klimaks) , biasanya tahap ini
merupakan tahap puncak ketegangan jika dilihat dari segi penonton. Namun, bila dilihat dari sudut konflik,
klimax berati titik pertikaian paling ujung yang dicapai pemain biasanay antara
tokoh antagonis dan protagonis.
e.
Resolusi
(Resolution)
Dalam
tahap resolusi dilakukan penyelesaian konflik. Jalan keluar penyelesaian
konflik-konflik yang terjadi sudah mulai terlihat di tahap ini.
f.
Keputusan
(Denouement)
Dalam
tahap terakhir ini, semua konflik berakhir dan sebentar lagi cerita selesai.
Dengan selesainnya cerita maka tontonan drama sudah usai.
4.
Karakter
(Character)
Karakter atau perwatakan merupakan keseluruhan ciri-ciri jiwa
seorang tokoh dalam lakon drama.
Tokoh-tokoh ini bisa saja berwatak ramah , sabar , suka menolong, suka
marah, keji ataupun jahat. Karakter dibuat oleh penulis lakon drama. Karakter
yang telah dibuat harus di mainkan dengan sangat baik oleh aktor yang
memerankannya. Agar dapat melakukannya dengan baik aktor harus memahami betul
karakter yang dikhendaki penulis lakon drama. Dalam menunjang peran untuk
menjadi tokoh yang sesuai denga kehendak penulis, biasanya pemain dibantu oleh
penata rias, penata busana, dan akting. Misalnya Jika tokoh yang diperankan
adalah toko orang miskin atau gelandangan, pemain biasanya dipakaikan pakaian
yang lusuh, sobek-sobek atau pun sudah compang-camping.
5.
Dialog
(Dialogue)
Jalan cerita lakon drama diwujudkan melalui dialog (dan gerak) yang
dilakukan para pemain. Dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung karakter
tokoh yang diperankan dan dapat menunjukan plot drama. Karena itu, dialog harus
benar-benar dijiwai oleh para pemain sehingga sanggup menggambarkan suasana.
Dialog juga harus berkembang mengikuti suasana konflik dalam tahap-tahap plot
lakon drama.
6.
Setting
Setting adalah tempat, waktu dan suasana terjadinya suatu adegan.
Karena semua adegan dilaksanakkan di atas panggung, maka panggung harus
menggambarkan setting yang dikhendaki. Panggung harus bisa menggambarkan tempat
adegan itu terjadi misalnya ruang tamu, rumah sakit, tepi sungai dan tempat
lainnya. Penataan panggung juga harus sesuai dengan konteks naskah misalnya
abad pertengan, zaman sekarang , pagi hari , malam hari dan seterusnya.
7.
Bahasa
(Language)
Seorang penulis naskah drama harus mampu memilih kata-kata yang
sesuai dengan makna dan pandan merangkai kata-kata yang akan disampaikan dalam
dialog yang dimainkan oleh pemain.
Bahasa sebagai baha dasar yang diolah untuk menghasilkan lakon drama.
Karena itu penulisan naskah drama harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan bahasa seperti ragam lisan, ragam tulis, ragam resmi dan ragam tak
resmi. Dialog haru s ditulis dengan ragam bahasa yang tepat sesuai dengan siapa
yang berbicara, apa yang dibicarakan dan pada siapa akan berbicara.
8.
Interpretasi
(Interpretation)
Penulis lakon selalu memanfaatkan kehidupan masyarakat sebagai
sumber gaagasan dalam menulis cerita . apa
yang ada didalam masyarakat. Artinya yang dipertontonkan harus logis,
tidak aneh dan tidak janggal.
References
Chan, M. 2012. Unsur-unsur
pementasan drama. (Retrieved From:
Accesed
on Wednesday, march 11th 2015)
Fatimatus,
D. Z. 2012. Hakikat Drama Sebagai karya sastra. (Retrieved From:
Mashuri,
M. I. 2009. Sejarah drama. (Retrieved From:
Wednesday, March 11th 2015)
Reaske,
C.R. 1996. How To Analyze Drama. USA: Department of English Harvard
University
Samekto.
1998. Ikhtisar Sejarah Kesusasteraan Inggris. Jakarta: Daya Widya
Wiyanto,
Asul.2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Grasindo